Bukan Rekayasa

gambar-cerpen-toko-mini-market
Ilustrasi

Ketemunya tidak sengaja. Tidak dibuat-buat. Tahu-tahu Sinta sudah mendapati Vino ada di sebelahnya. Di sebuah minimarket dekat rumah Sinta. Jelas Sinta kaget. Apalagi, cowok itu sudah kurang ajar padanya dua hari lalu. Ini pasti sebuah rekayasa! batin Sinta.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Sinta dengan nada menyelidik.
Dengan mimik wajah yang sama terkejutnya melihat Sinta, Vino jadi salah tingkah.
“A-aku sedang belanja,” ucap Vino grogi. “Sama denganmu.”
“Siapa bilang aku ke sini mau belanja?” balas Sinta ketus.
Vino melihat pegawai toko itu dan pembeli lainnya ikut melihat ke arah mereka. Dia jadi malu. Lalu,
“Kalau begitu maafkan aku,” ucap Vino sambil berlalu tanpa menoleh.

Pandangan Sinta mengikuti langkah kaki Vino sampai cowok itu melewati pintu kaca toko. Lalu, Sinta segera ingat dengan tujuannya datang ke toko tersebut. Membeli pembalut. Dan segera saja dia menuju kasir untuk membayar.
“Mbak, temannya Mas Vino, ya?” tanya cewek yang menjadi kasir sambil membungkus barang yang dibeli Sinta.
Sinta dibikin bengong mendengarnya. “Mbak kok kenal dengan Vino?”
Cewek kasir itu tersenyum mirip iklan pasta gigi. “Ya, tentu saja kenal, dia itu anaknya pemilik toko ini.”
Sinta tambah bengong seperti sapi ompong.
***
Selesai makan di kantin keesokan harinya, Sinta langsung mencari Vino. Kesi yang menemani Sinta makan jadi bingung ditinggal sendirian di kantin. Apalagi sebelum pergi, Sinta menitip satu pesan yang membuat Kesi sebel, “Bayarin dulu, ya!”
Sinta tak sempat melihat muka Kesi yang berubah kecut. Dia lagi konsen ingin menemui Vino. Tapi, Vino tak ada di kelas. Padahal waktu mau ke kantin bersama Kesi tadi, dia melihat Vino tak beranjak dari bangkunya. Sekarang malah tak ada. Satu tempat yang mungkin harus disatronin Sinta untuk menemukan Vino adalah di belakang lab. Tempat anak cowok pada muntung!
Benar saja, Sinta melihat Vino sedang asyik mengisap batang rokoknya sambil ngobrol dengan anak cowok lain di antara tumpukan bangku yang rusak. Seorang cowok menyenggol Vino untuk memberitahukan kedatangan Sinta. Vino menoleh. Sedikit kaget. Sambil berdiri, Vino menyerahkan sisa batang rokoknya pada temannya. Dia melangkah mendekati Sinta.
“Kayaknya dunia ini terlalu sempit buat kita,” ucap Vino kalem.
Sinta menatap Vino lekat. “Aku ingin bicara.”
“Oh, silakan.”
“Jangan di sini, nanti sepulang sekolah.”
“Maaf kalau begitu tak bisa,” lanjut Vino. “Aku ada urusan.”
“Hanya sebentar.”
“Pokoknya tak bisa!” ucap Vino sambil kembali pada teman-temannya dekat tumpukan bangku rusak.
Sinta jadi kesal. Dengan wajah geram, dia pergi meninggalkan tempat itu. Tak lama, guru piket datang ke belakang lab dan menangkap anak-anak yang merokok di sana.
***
Tiga hari lalu, begitu selesai berolah raga, Sinta dibuat kaget setengah mati. Ketika dia mau memasukkan baju olah raganya ke tas, seekor kodok melompat dari dalam tas. Kontan dia menjerit. Anak-anak yang melihatnya sontak tertawa. Muka Sinta jadi pucat. Kesi yang duduk sebangku dengannya menenangkan ketakutan Sinta.
“Siapa yang kurang ajar berbuat ini?” cetus Kesi memandang pada anak cowok.
Kelas yang belum ada gurunya itu terdiam. Tak ada yang menjawab pertanyaan Kesi. Sementara, Sinta juga duduk terdiam.
Baru di hari berikutnya, Sinta dapat bocoran kalau menaruh kodok sawah di tas miliknya itu adalah Vino. Maka saat jam pergantian guru, langsung saja Sinta melabrak Vino.
“Kata siapa kalau aku yang melakukannya?” ucap Vino menyangkalnya.
“Pokoknya dari sumber yang bisa aku percaya,” balas Sinta sengit. “Kamu nggak perlu tahu.”
“Kamu punya bukti?” balas Vino.
“Jika kamu tak mau mengaku, aku akan lapor kepsek,” katanya kesal sambil melangkah keluar kelas.
Vino jadi kelabakan. Dia berlari menyusul Sinta. Di depan pintu, Vino menarik tangan Sinta. Cowok itu menatap Sinta.
“Baiklah aku mengaku, itu memang perbuatanku,” katanya. “Kuminta kau tak mengadukannya pada kepsek.”
“Kamu takut?”
“Pokoknya jangan,” pinta Vino agak memelas. “Kau boleh membalasku dengan apapun asal tak bilang pada kepsek.”
Sinta terdiam. Dia melihat cowok yang tengil itu tiba-tiba menjadi ciut nyalinya.
“Kenapa kamu melakukan itu padaku?” tanya Sinta kemudian.
Anak-anak lain sudah pada merubung kedua anak itu. Kesi malah bertolak pinggang di sisi Sinta. Vino jadi tambah rikuh.
“Aku hanya bercanda,” jawab Vino.
“Bercandamu kampungan!” cetus Sinta sambil meninggalkan Vino kembali ke bangkunya.
Anak-anak lain yang melihat hal itu langsung bertepuk tangan sambil bersorak. Vino melangkah ke bangkunya dengan muka seperti pecundang. Sinta memang merasa menang dari Vino saat itu. Sampai dia bertemu Vino di minimarket dekat rumahnya, yang membuatnya tahu kalau Vino adalah anak dari pemiliknya.
Sejak saat itulah Sinta berubah pikiran. Dia sudah melupakan keusilan Vino soal kodok. Dia ingin menemui Vino untuk bicara tentang harapan kecilnya.
***
Sore sepulang sepulang, Sinta sengaja mampir di minimarket. Berharap dapat menemui Vino. Karena sejak bubaran sekolah, Vino tak terlihat batang hidungnya. Namun, Vino tak ada. Sinta menuju kasir dengan perasaan hampa.
“Vino nggak ke sini, ya, Mbak?” tanya Sinta berbasa-basi sambil membayar minuman yang dibelinya.
“Oh, mungkin nggak, soalnya masa hukumannya sudah habis,” jawab si cewek kasir yang tempo hari dikenal Sinta.
“Vino dihukum?” tanya Sinta terkejut.
Si kasir mengangguk. “Beberapa hari lalu, papinya Vino dapat surat teguran dari sekolah lantaran Vino ketahuan bolos.”
Sinta ingat kalau Vino memang kadang tak hadir di kelas.
“Nilai yang didapat Vino pun tak pernah bagus,” lanjut si kasir. “Jadi, dia disuruh kerja di sini selama seminggu setelah pulang sekolah.”
“Papinya galak juga, ya?” komentar Sinta.
“Dan hukuman itu akan bertambah lama kalau Vino kembali mendapat surat teguran dari sekolah,” tukas si kasir.
Sinta tercenung. Dia ingat waktu Vino minta untuk tidak dilaporkan pada kepsek setelah menjahilinya. Rupanya, itu alasannya. Dia jadi tak enak hati, sebab tadi sudah melaporkan anak-anak yang merokok, termasuk Vino, pada guru piket.
“Kok Mbak bisa tahu banyak sih?” tanya Sinta lagi.
Si cewek kasir tersenyum. “Kebetulan, saya yang diminta papinya untuk mengawasi Vino di sini.”
“Oh, begitu,” ucap Sinta manggut-mangut.
***
Sinta melihat Vino masih di kelas saat jam istirahat di hari berikutnya. Setelah meyakinkan kalau dia akan menyusul Kesi ke kantin, Sinta menghampiri Vino. Cowok itu berusaha tersenyum melihat Sinta duduk di bangku depannya.
“Tumben nggak ke kantin?” basa-basi Vino. “Ntar cacingmu pada mati lho.”
Sinta tersenyum kecil. “Aku mau minta maaf,” ucapnya ragu.
Vino mengangkat alis matanya. “Maaf? Untuk apa?”
“Soal razia rokok oleh guru piket kemarin,” lanjut Santi. “Karena aku yang melaporkannya. Habis kamu nyebelin!”
Vino melotot. Menatap Santi tak percaya. Lalu tertawa. Santi jadi termangu heran.
“Kok kamu malah tertawa,” tanyanya.
“Hahaha…, kamu lucu, jadi karena aku nggak mau diajak ngomong, kamu sampai ngadu ke guru piket. Hahaha… sayang, niatmu gagal. Aku nggak ikut ke gep!”
Santi terkejut. “Ka-kamu nggak ikut tertangkap?”
Vino tersenyum lebar. “Tentu tidak, selepas kamu pergi. Aku langsung ke kantin, jadi nggak kena.”
Santi menarik napas lega. “Syukurlah, kukira kau akan dihukum kerja di minimarket ayahmu lagi akibat perbuatanku.”
Vino berbalik kaget mendengarnya. “Pasti Mbak Yeni yang memberitahukan soal itu. Iya, kan?”
“Mbak Yeni?”
“Kasir di minimarket itu,” jawab Vino. “Apalagi yang dikatakannya?”
“Hanya itu plus tentang hukumanmu,” timpal Sinta.
“Jadi infotainment juga dia,” kata Vino sedikit kesal.
“Sebenarnya, aku yang tanya pada dia kok,” kata Sinta.
“Kamu?” tanya Vino heran.
Sinta mengangguk. “Kebetulan aku mencarimu di sana, tapi nggak ketemu.”
“Ada perlu apa?”
Sinta tersenyum pada seorang cewek yang duduk di dekat mereka dan melangkah keluar kelas. Lalu, dia kembali menatap Vino.
“Aku butuh bantuanmu,” katanya pelan.
“Apa kau masih percaya denganku?”
“Mungkin,” jawab Sinta.
“Soal apa?” lanjut Vino.
Sinta agak ragu bicara. Dia menguatkan hatinya, dan….
“Aku ingin kau menanyakan pada ayahmu, apakah dia bisa menerimaku bekerja di minimarket itu?”
Vino melotot kaget. “Kamu jangan bercanda?”
Sinta menggeleng. “Aku butuh uang, ayahku baru kena PHK.”
Vino terdiam. Lama, keduanya saling diam. Lalu,
“Kamu serius?” lanjut Vino.
“Ini pertama kalinya aku bicara serius padamu,” kata Sinta. “Kumohon sampaikan itu pada ayahmu.”
Vino mikir sebentar. Kemudian, “Baiklah, besok kukabari.”
Sinta tersenyum senang. Kemudian, bangkit dari duduknya. “Terima kasih. Aku tak keberatan kalau kau menaruh kodok di tasku lagi, asal besok aku menerima kabar baik.”
Vino balas tersenyum.
***
Besoknya, Vino menemui Sinta. Bukan di kelas, melainkan di rumahnya, pagi sebelum sekolah!
“Mudah-mudahan siang ini nggak bakal hujan dengan kedatanganmu,” kata Sinta melihat Vino berdiri di pintu rumahnya.
Vino tersenyum. “Gimana kalau ngomongnya sambil jalan, biar nggak telat.”
Sinta mengangguk dan segera mengambil tas sekolahnya. Setelah pamitan, dia ikut bersama Vino di sepeda motornya.
“Apa kata papimu?” tanya Sinta penasaran.
“Maaf, papiku tak bisa menerimamu bekerja di minimarket itu,” kata Vino sambil mengendalikan setang motor.
Seketika, nafsu Sinta melorot. Dia jadi tak semangat lagi. Harapannya buyar disapu angin pagi.
“Tapi,” ucap Vino lagi. “Kau masih punya satu kesempatan lain.”
Mendadak ada secercah sinar di mata Sinta. “Untuk apa?”
“Papiku ingin nilaiku kembali bagus, dan aku harus mencari guru privat,” kata Vino. “Kau bisa membantuku?”
“Menjadi gurumu?” tanya Sinta ragu.
“Itu juga kalau kau mau? Lumayan, bayarannya lebih besar dari pegawai minimarket!”
“Kamu serius?”
“Jangan takut, ini bukan rekayasa kok,” tukas Vino. “Aku hanya berniat membantu.”
Sinta tersenyum menepis keraguannya. “Mulai kapan?”
Vino tertawa. Dia menekan gas di tangannya hingga motor itu melaju kencang. Membelah udara pagi yang kini terasa segar menyapu wajah Sinta.
*****

(W edisi no. 39/ 17-24 September 2007)

Komentar