Cowok Ngetop

foto-cerpen-cowok-keren-ngetop
Ilustrasi

Kalau aku disuruh menyebut nama anak yang paling populer di kelasku, pasti dengan lantang aku akan menyebut satu nama : Ronny. Apa sebab? Karena dialah siswa di kelas III IPA ini yang paling banyak punya prestasi. Pertama, dari kelas satu, dia sudah mengisi posisi pertama di ranking kelas. Kedua, dia jago main sepakbola. Waktu ikut kompetisi antar SMU se-Jakarta, dia membawa tim sepakbola sekolahku menjadi juara pertama, dan dia dinobatkan menjadi pemain terbaik.
Dan yang ketiga, dia jago banget sama yang namanya Fisika. Padahal pelajaran itu, bagiku, paling jelimet. Maka tak heran kenapa aku secara pribadi, atau mungkin teman-temanku yang lain juga sependapat, kalau Ronny memang pantas disebut populer di kelasku. Atau bahkan di SMU ini.

Bagaimana tidak, tahun lalu, dia kembali membuat harum nama SMU-ku dengan memenangkan Olimpiade Fisika. Sejak itu, profilnya kerap nongol di mading sekolah. Dia pun dinobatkan menjadi Siswa Teladan. Kalau sudah begitu, terbayanglah beasiswa di depan mata. Tetapi, Ronny tak lantas besar kepala. Dia biasa-biasa saja sikapnya.
“Ah, itu cuma kebetulan saja kok,” begitu katanya saat kuucapkan selamat atas kemenangannya di Olimpiade Fisika.
“Kebetulan bagaimana? Aku melihat lawan-lawanmu tangguh semua dan berasal dari SMU  yang elit.”
“Ya, namanya juga lomba, mesti ada yang menang dan kalah. Kebetulan  saja saat itu aku mendapat kesempatan untuk menang.”
Diplomatis banget kedengarannya. Namun seperti itulah Ronny. Malah sifat pemalunya jadi semakin terlihat setelah namanya ngetop. Pernah satu ketika, dia dikerubuti  oleh cewek-cewek kelas tiga. Rupanya mereka ingin menggoda Ronny yang kebetulan punya wajah kiyut. Untung saja aku kebetulan lewat, jadi aku bisa langsung menyelamatkannya pergi dari tempat itu.
 “Terima kasih, ya,” tukasnya sembari menyeka keringat yang membanjiri keningnya.
Aku hanya tertawa menanggapinya. Ironis memang, Ronny yang sangat ngetop di sekolahku ini, menjadi rikuh bila digoda cewek. Malah belum satu pun cewek di sini pernah kulihat menjadi dekat dengannya. Sepengetahuanku, dia tak punya pacar. Dan hal tersebut, sudah berlangsung sejak dia masih di SMP. Aku mengetahuinya karena aku dan Ronny berasal dari SMP yang sama.
Aku juga suka bingung, cowok yang suka duduk di pojok belakang itu, sepertinya amat emoh sama yang namanya cewek. Hanya akulah cewek satu-satunya yang bisa akrab dengannya. Mungkin itu disebabkan aku pernah satu sekolah dengannya di SMP. Dan pernah menjadi sekretarisnya saat dia menjabat sebagai ketua OSIS dulu. Aku sendiri tak mengerti apa sebab.
Dan rasanya, aku ingin sekali mengetahui alasannya. Karena kuyakin dia masih normal. Atau perlu kubuktikan juga keyakinanku itu? Tetapi, cara apa yang kupakai untuk mengorek pengakuan darinya. Ronny selalu tertutup. Sekalipun aku teman lamanya, tak banyak yang dapat kuketahui dari kehidupan pribadinya. Aku dan dia hanya bertemu dan bergaul sebatas di sekolah. Baik itu saat masih sama-sama di SMP hingga sekarang.
Itulah yang baru kusadari saat ini. Hampir enam tahun aku bersamanya di sekolah, tapi tak banyak aku bisa mengenalnya. Padahal, saat kami aktif di OSIS SMP, kami punya banyak waktu untuk bersama. Baik untuk keperluan satu acara di sekolah atau ketika menjenguk teman yang sakit.  Menyesal juga aku jadinya. Karena tak pernah kusangka, Ronny yang pemalu itu bakal menjadi bintang setelah masuk SMU. Tapi itulah rahasia Ilahi. Siapa yang dapat menduga?
Sekarang persoalannya, bagaimana aku bisa mengetahui kehidupan pribadi Ronny? Uff! Tunggu dulu, buat apa ini kulakukan? Apa kedengarannya tidak seperti paparazzi? Tapi… kalau untuk sekedar tahu, aku kira tak mengapa. Namanya juga teman, jadi harus tahu sama tahu. Saling berbagi cerita, berbagi ilmu, juga berbagi rezeki kalau ada. Lalu, apa yang mesti kulakukan?
Pertama-tama, mungkin aku harus main ke rumahnya. Wah, apa ini tidak mencolok jadinya. Tapi, sebenarnya aku sendiri tak mengetahui dimana rumah Ronny berada. Kelewatan banget kedengarannya. Rumah teman sendiri saja kok tidak tahu. Habis mau bagaimana lagi, memang begitu kenyataannya. Jadi, mau tak mau, aku kensel dulu niatku untuk ke rumah Ronny itu.
Aku harus pakai cara lain. Kukira obrolan kecil saat istirahat bisa juga dicoba. Lagipula, Ronny kadang suka tidak keluar kelas saat istirahat. Seperti satu hari dimana aku melihat Ronny mengerjakan sesuatu di bukunya pas istirahat. Aku menghampirinya.
“Hai,” sapaku.
Dia menoleh dengan sedikit senyum.
“Tidak keluar?” kataku basa-basi.
“Tanggung,” katanya sembari tak lepas mengerjakan soal.
Aku melirik soal apa yang dikerjakannya. Fisika ternyata. “Itu kan PR, buat apa kamu kerjakan di sini? Diperiksanya juga masih minggu depan.”
Ronny tak langsung menanggapi perkataanku. Tangannya terus sibuk menulis sampai akhirnya dia selesai. Dan menutup buku tulisnya.
“Sekarang PR itu sudah selesai kukerjakan, jadi aku punya waktu banyak untuk melakukan hal lain,” tandasnya.
“Kamu ini kerajinan banget sih,” celotehku.
Dia tertawa. “Aku cuma tak ingin menunda sesuatu yang bisa kukerjakan sekarang. Kalau nanti-nanti malah jadinya lupa, kan berabe. Mendingan sekarang mumpung masih hangat diingat.”
“Aku yakin kapan pun kamu disuruh mengerjakannya, pasti bisa. Kamu kan pernah memenangkan olimpiade Fisika tempo hari, apa sulitnya sih mengerjakan PR itu?”
Ronny tersipu. “Kamu jangan bicara seperti itu, nanti kepalaku jadi besar lho. Bahaya. Soalnya topi yang kupakai bakal tak muat lagi.”
Aku tertawa. “Kamu bisa saja. Sudahlah, aku traktir yuk!”
“Apa aku tak salah mendengar?”
“Tidak, ayolah!”
Ronny merapikan buku-bukunya.
“Eit,” tahanku. “Boleh aku pinjam PR-mu?”
Ronny tertawa. “Maaf, aku tak ingin menjerumuskanmu pada pelemahan otak.”
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Ya, kalau aku meminjamimu buku PR-ku ini, artinya aku dengan sengaja memberimu contekan dan itu membuat otakmu tak bekerja untuk memecahkan soal-soal yang ada. Sebab kamu hanya menyalin. Otakmu akan menjadi lemah karenanya.”
Aku terkejut juga dengan persepsinya. Namun betul juga sih. Tapi, apa salahnya memberi sedikit contekan pada teman?
“Terus terang aku lemah pada pelajaran Fisika. Tidakkah kamu mau menolongku?” rayuku.
“Kukira ada cara lain menolongmu tanpa harus memberimu contekan,” jawabnya lugas.
“Apa itu?”
“Menurutku, menolong orang yang suka ikan tak harus memberinya ikan, tapi lebih baik memberinya pancing untuk mendapatkan ikan tersebut.”
“Omonganmu jangan berbunga gitu dong, katakan saja intinya.”
Ronny tersenyum menatapku. “Aku akan mengajarimu Fisika.”
Aku tersenyum. “Tak salah aku mendengar?”
“Tergantung, apakah kamu punya gangguan THT atau tidak?”
Aku begitu senang mendengarnya. Ini adalah jalanku untuk lebih mengenalnya. Benar rupanya, ada banyak jalan menuju Roma.
“Kalau begitu bisa dimulai siang ini, di rumahku?” tukasku suka cita.
“Kalau kamu ada waktu, dengan senang hati aku akan datang.”
Senyumku makin sumringah.
***
Ronny tak mengingkari janjinya. Selepas Ashar, dia datang ke rumahku.
“Kukira kamu tak jadi datang.”
“Seorang lelaki harus pandai menepati janji.”
“Kalau begitu masuklah, aku sudah menyiapkan segalanya.”
Maka, aku pun mulai mengikuti segala apa yang dikatakan Ronny dalam memecahkan sepuluh soal dari PR Fisika. Ronny dengan tekun memberiku penjabaran mengenai segala hal tentang Fisika. Dia pun memberi tips cara mengingat rumus-rumus Fisika yang rumit itu.
Tak terasa dengan cepat aku sudah dapat menyelesaikan soal-soal Fisika yang menjadi PRku.
“Kalau tidak kamu ajarkan mungkin takkan bisa aku menyelesaikannya,” kataku.
“Tak perlu bicara begitu, aku kan cuma mengarahkan saja.”
 “Betul, selama ini kan kalau ada PR, ujung-ujungnya aku nyalin punya anak lain di sekolah.”
“Jangan membiasakan itu sebab….”
“Akan melemahkan otak,” potongku.
Ronny tertawa.
“Tapi memang betul kok, kalau otak kita lemah kreativitas kita juga goyah. Malah timbulnya ke arah negatif. Makanya, negeri kita ini lambat majunya, sebab banyak terjadi praktik contek-mencontek di sini.”
“Sudahlah jangan ngomongin soal itu lagi,” selaku. “Kan masih banyak hal lain yang bisa diomongi.”
“Contohnya?”
“Ya, seperti….” Aku mencari cara untuk mengucapkan niatku mengetahui pendapatnya tentang cewek. “Kamu tahu kalau si Tania sudah putus dengan Boy?”
Tania itu adalah bintang sinetron yang ada di sekolahku.
“Kabarnya sih begitu,” ucap Ronny.
“Lalu, apa kamu tidak senang mendengarnya?” pancingku.
“Senang untuk apa?”
“Setidaknya kamu kan punya peluang untuk mendekatinya.”
“Kalau untuk berdekatan mah, tempo hari aku sudah pernah merasakannya. Waktu jajan di kantin. Malah aku duduk semeja dengannya.”
“Bukan itu maksudku, tapi… menjadi pengganti Boy baginya.”
Ronny bengong.  “Ah, kamu bercanda,” katanya kemudian.
“Lho apa salahnya?” kataku. “Kamu juga tak kalah hebat dari si Boy!”
Ronny tertawa. “Bukan itu masalahnya. Tapi status. Kamu lihat dong, siapa dia dan siapa aku. Aku ini cuma anak kere, Non.”
Aku makin serius. “Kamu jangan berbicara seperti itu.”
“Tapi itulah kenyataannya. Kamu tahu, tanpa beasiswa yang kudapat aku takkan bisa sekolah di tempat kita.”
“Tapi kenyataannya, kamu memang memiliki banyak kelebihan. Kamu tahu kalau banyak cewek yang menyukaimu?”
“Entahlah. Aku tak pernah memikirkan itu.”
“Sudah ada berapa cewek yang ‘menembakmu’? Kurasa lebih dari lima dan tak ada satu pun yang berhasil.”
“Kok kamu tahu?”
Aku tersenyum. “Dinding sekolah membisikkannya padaku, tapi yang kuheran kenapa bisa begitu?”
“Apanya?” Ronny seolah tak mengerti.
“Kenapa kamu menolak mereka semua?”
“Karena….” Ronny tertunduk. Lalu, kembali menatapku. “Karena aku tak punya uang, sudah kubilang tadi aku ini kere!”
“Apa menurutmu uang mengalahkan perasaan?”
“Bagiku, ya. Kamu pikir orang menjalin hubungan tak perlu jalan-jalan, pergi nonton, atau setidaknya makan bakso? Lalu, dari mana uang yang kuperoleh untuk itu. Untuk jajan di kantin saja aku suka nebeng. Makanya kadang aku tak keluar pas istirahat.”
Aku tercenung. Rupanya itu yang membuat Ronny tetap sendiri sampai saat ini. Keingintahuanku mengenai hal itu membuka tabir yang tak pernah kusadari. Betapapun hidup ini tak semuanya sama dimiliki oleh setiap orang. Ada yang lebih dan kurang. Beruntung dan tidak.
Tetapi, apakah benar setiap hubungan yang mengaitkan perasaan dua insan berlainan jenis tak bisa berjalan tanpa adanya uang. Semestinya pengertian akan ketaksamaan nasib itu menjadi penghapus batasan itu.
Aku menatap Ronny lekat-lekat dengan senyum simpul yang membuatnya rikuh.
“Aku rasa masih ada gadis yang mau menerima kekuranganmu dan mau bersamamu meraih cita-cita untuk kemajuan bersama.” ucapku dengan suka cita.
Ronny menatapku seolah tak percaya. “Kamu tahu orangnya?”
“Aku,” bisikku sangat amat pelan. Entah terdengar atau tidak olehnya.
*****

Kawanku edisi no. 27/ 3-9 Juli 2006

Komentar