Rumah Kandang

foto-gambar-cerpen-rumah-kandang
Ilustrasi

Ketika tanah di seberang lapangan bola dibeli orang, saya tak tahu tempat itu akan dibangun apa. Namun, tak lama setelah pemilik tanah dibayar, dibangunlah pagar tembok yang diselingi pagar besi di sekelilingnya. Di dalamnya juga dibangun sebuah rumah mewah. Kata orang yang ikut bekerja membangunnya, rumah tersebut akan menjadi tempat tinggal orang dari kota.
Saya tidak perlu terlalu lama untuk mengetahui siapa yang akan menempati rumah itu. Karena begitu rumah tersebut selesai dibangun, datanglah sebuah keluarga mengisinya. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang sudah setengah baya dan seorang pemuda. Tapi, sejalan dengan waktu, saya tak pernah lagi melihat pemuda itu ada di sana.
“Oh, dia tetap tinggal di Jakarta, di rumah kami yang dulu. Katanya biar dekat dengan kantornya,” kata lelaki yang menjadi kepala keluarga di rumah itu menjelaskan pada saat bersilaturahmi ke tempat saya.

Lelaki itu bernama Johan, begitu dia menyebut namanya. Dia pensiunan pegawai di sebuah BUMN. Alasan dia tinggal di sini adalah untuk menikmati masa tuanya. Saya melihat keluar jendela, terlihat punggung pegunungan berwarna biru gelap di kejauhan. Desa ini memang layak untuk orang yang ingin beristirahat dari kepenatan suasana kota.
Saya tersenyum dan bilang padanya, “Semoga Bapak kerasan tinggal dalam suasana desa yang jauh dari serba ada seperti di kota.”
Dia balas tersenyum. Tidak lama kemudian dia dan istrinya mohon pamit.
Setelah itu saya jadi semakin sering bertemu dengan Pak Johan. Ini tak lain karena rumah Pak Johan berada di ujung jalan. Jadi, saat saya berangkat dan pulang dari mengajar di SD Negeri, saya pasti akan bersua dengannya. Saya katakan pasti karena setiap saya melewati depan rumahnya, dia selalu ada di halaman rumahnya, sehingga orang yang berlalu-lalang di situ  tak mungkin tak melihatnya.
Orang-orang desa sudah kian akrab dengan Pak Johan, apalagi dialah satu-satunya orang yang tinggal di desa ini dengan rumah gedung berpagar tinggi. Saya pernah bertanya pada Pak Johan kenapa rumahnya mesti diberi pagar tinggi.
“Maaf lho, Pak, pagar tinggi itu bukannya bermaksud untuk memberi jarak saya dengan penduduk di sini,” jawabnya, “itu semata untuk… maaf saya belum bisa bilang sekarang.”
Saya mengangguk mafhum. Semakin saya perhatikan rumah Pak Johan makin terlihat teduh suasananya. Mungkin itu karena beberapa pohon besar yang sebelumnya sudah ada tak ditebang, ditambah lagi dengan rerimbunan batang bambu yang sengaja ditanam. Halamannya seperti karpet rumput yang terhampar.
Ada juga beberapa kelinci yang berkeliaran bebas di sana.  Saya menebak Pak Johan memang senang akan binatang. Itu saya buktikan saat saya main ke rumah Pak Johan, dia sedang mengawasi para tukang yang sedang membuat kotak-kotak besar dari besi di halaman samping dan depan rumahnya.
“Buat apa kotak-kotak itu, Pak?” tanya saya.
Dia tersenyum dan menoleh pada kotak yang saya maksud. “Saya ingin memindahkan binatang peliharaan saya ke sini.”
“Maksud, Bapak?” tanya saya lagi.
“Saya punya binatang peliharaan yang tertinggal di kota, saya ingin memindahkannya ke sini,” jawabnya.
Saya manggut-manggut. Kemudian saya pamit pulang. Keesokan harinya, saat saya melintas di depan rumah Pak Johan terlihat ada kesibukan di sana. Tapi, saya tak melihat adanya Pak Johan, jadi saya urungkan niat saya untuk mampir.
Begitu hari Minggu datang, saya sempatkan diri menyambangi Pak Johan. Sekedar bersilaturahmi sambil juga memuaskan rasa penasaran saya untuk melihat binatang peliharan apa yang diperihara olehnya. Saya langsung disambutnya saat tiba di sana.
“Saya senang Pak Salim mau datang ke sini?” tukasnya senang sembari menyalami saya.
Saya tersenyum. “Saya cuma penasaran, mau melihat isi dari kandang yang sudah Bapak buat.”
Pak Johan terkekeh dan mengajak saya melihat-lihat kandang yang dibuatnya. Saya terkejut ketika melihat binatang yang ada di kandang itu. Seekor macan. Seekor macan berwarna loreng yang tubuhnya lebih besar dari saya.
Lalu, saya lihat kandang yang lain. Juga ada seekor macan. Tapi yang ini berwarna putih. Tubuhnya sama dengan pertama. Ada juga seekor burung elang di kandang lain. Paruhnya besar dan terlihat kokoh. Saya bergidik, memikirkan bila saya berada di dalam kandang bersama mereka.
“Kenapa, Pak?” tanya Pak Johan seperti melihat ketakutan saya.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma mikirin apa mereka masih buas?”
Pak Johan terkekeh seperti kebiasaannya. “Meski saya memelihara mereka sejak kecil, namun saya tahu insting mereka sebagai hewan liar tetap ada.”
Saya menatap Pak Johan. “Pasti begitu banyak makan mereka.”
“Setiap hari sejak mereka kecil, saya selalu menyiapkan berkilo-kilo daging dengan kualitas baik untuk makan mereka,” tukas Pak Johan terlihat bangga.
Saya tertegun. Saya menghitung-hitung sudah berapa besar pengeluaran Pak Johan untuk makan mereka. Perasaan saya jadi hambar. Buru-buru saya mohon pamit. Pak Johan terlihat heran melihat perubahan sikap saya. Tapi, saya tetap terus melangkah pulang.
Kabar tentang Pak Johan yang memelihara hewan buas sudah menyebar ke seluruh desa. Banyak orang yang datang untuk melihat-lihat. Pak Johan pun tampaknya tak keberatan, dia membuka luas pintu rumahnya. Anak-anak, remaja, orang tua, lelaki dan perempuan berdatangan dari setiap sudut desa.
Kadang ada juga yang membawa bekal untuk dimakan bersama keluarga di sana. Mereka menganggap datang ke tempat Pak Johan sama dengan pergi ke kebun binatang. Pak Johan malah senang bisa memberikan hiburan pada penduduk desa.
Suatu ketika, saya melihat Pak johan memberi kesempatan pada seorang anak untuk ikut memberi makan hewan peliharaannya. Anak itu awalnya manut, tapi saat dia memegang daging yang mesti diberikan pada si macan, tiba-tiba dia malah kabur. Berlari kencang sembari membawa potongan daging di tangannya. Pak Johan berteriak memanggilnya, tapi si anak tetap tak kembali. Saya lihat Pak Johan begitu kesal.
Selanjutnya saya tak lagi mengunjungi rumah Pak Johan walaupun pagar pintunya terbuka lebar. Saya seperti enggang untuk melangkah ke sana. Sampai pada suatu saat saya bertemu dengan Pak Johan di acara kendurian seorang warga yang meninggal dunia. Malam itu, karena jalan rumah kami searah, maka pulangnya pun bareng. Sehingga kami bisa berbincang kembali.
“Saya tak melihat Bapak datang ke rumah saya lagi?” tanyanya.
“Maaf, Pak, bukannya tak mau,” kata saya, “saya hanya tak kuasa menahan rasa iri saya bila melihat hewan peliharaan Bapak.”
Pak Johan menatap saya. “Bapak iri dengan hewan peliharaan saya?”
Saya mengangguk. “Saat Bapak mengatakan bahwa setiap hari harus menyiapkan daging berkualitas baik untuk hewan Bapak, saya jadi merasa iri. Hidup hewan itu lebih baik dari sebagian besar penduduk desa ini termasuk saya. Bapak ingat kejadian anak yang membawa lari daging itu?”
Pak Johan diam. Dan setelah itu kami tak lagi banyak bicara sampai berpisah di rumah masing-masing. Pada satu kesempatan di hari Minggu, saya ingin bertemu dengan Pak Johan, saya merasa tak enak dengan percakapan kami beberapa waktu lalu. Saya pun menyambangi kediamannya. Di halaman depan rumahnya, Pak Johan menyambut saya. Ketika masuk rumahnya, saya menjadi heran. Semua kandang yang ada kosong. Tak terlihat Macan dan Elang yang dulu mengisinya.
“Pada kemana semuanya, Pak?” tanya saya heran.
Pak Johan tersenyum. “Semua sudah saya berikan ke kebun binatang. Mungkin benar kata Pak Salim, ada yang lebih penting untuk saya lakukan dari pada memelihara hewan buas.”
Saya tak mengerti maksud dari perkataan Pak Johan. Tetapi, setelah hari itu, saya melihat setiap hari Pak Johan keluar rumah membawa karung di atas sepeda motornya. Menurut kabar yang saya dengar dari tetangga, Pak Johan sudah membagi-bagikan bahan makanan pada penduduk desa. Saya tersenyum mendengarnya, semoga saja Pak Johan tak lupa mampir ke tempat saya.
*****
Nusa Indah9

Komentar