Tanah di Ujung Jalan

foto-gambar-cerpen-tanah-di-ujung-jalan
Ilustrasi

Ada dua alasan yang membuat saya harus kembali tinggal di rumah orangtua setelah selama setahun kos. Pertama, ayah saya meninggal dunia. Itu otomatis membuat ibu jadi sendiri. Padahal, ibu butuh teman untuk mengusir sepi. Untuk itu saya pulang.
Kedua, karena saya anak satu-satunya ibu yang belum menikah. Kakak saya, Mila, sudah hidup bersama suaminya di Jambi. Jadi, tak mungkin dia balik ke tempat Ibu untuk menemaninya. Malah sebaliknya, dia sangat ingin membawa ibu serta ke tempat tinggalnya di Jambi sana.
Tetapi dengan santun, ibu menolaknya. Beliau tak ingin meninggalkan rumah keluarga yang telah dibangun ayah atas hasil usahanya bekerja sebagai guru di sebuah SD Negeri. Lagipula ibu sudah kerasan dengan lingkungan di sekitar rumah yang penuh dengan kekeluargaan.

Atas keputusan itu, Kak Mila membujuk saya untuk menemani ibu. Itu artinya, saya mesti meninggalkan tempat kos yang saya sudah tempati sejak saya masuk kuliah. Ibu sangat gembira melihat saya kembali sebab dari Awal, beliau memang tak setuju dengan keinginan saya untuk tinggal di kos-kosan.
“Kuliah masih di satu kota kok pakai kos segala?” begitu kata ibu saat saya mengajukan izin untuk kos dua belas bulan ke belakang.
“Itu kan cuma untuk memudahkan saja, Bu, biar tidak capek bolak-balik kalau ada urusan di kampus.”
“Lho, apa bedanya dengan tinggal di sini?”
“Yang pasti jarak dan setidaknya saya bisa belajar hidup mandiri.”
“Kamu yakin bisa mengurus dirimu sendiri?”
“Kalau tak dimulai dari sekarang mungkin saya akan terus menggantung pada ayah dan ibu. Ibu tak mau saya begitu, kan?”
“Bukankah meski tinggal di kos, kamu tetap butuh subsidi dari sini?”
Saya tertawa. “Ya, setidaknya saya bisa mengatur jatah yang Ibu berikan untuk cukup sampai waktu yang ditentukan.”
“Tapi, itu bukan berarti kamu akan lupa pulang, kan?”
“Pasti dong, sebab saya kan juga akan kangen pada ibu. Saat libur saya akan berada di sini.”
Dan kini, saya kembali ke rumah. Mengenyampingkan segala keinginan yang saya buat saat memutuskan untuk kos. Ibu jelas gembira melihat si bungsu ada lagi di dekatnya. Saya juga senang ibu dapat melupakan kesedihannya atas berpulangnya Ayah. Kegiatannya pun dijalankan lagi.
Pengawasan terhadap beberapa petak sawah yang dulu dilakukan ayah, kini menjadi pekerjaannya. Meski tak harus menengok ke sawah, tapi ibu percaya semua miliknya dikerjakan oleh para patani lain dengan benar. Ibu hanya menerima bagian saat panen tiba. Begitu juga dengan sepetak kebun yang percayakan pengelolaannya pada sepupunya.
Memang untuk urusan pemenuhan nafkah hidup kami sekeluarga, saya tak perlu khawatir. Meski pensiun ayah tak seberapa, tapi dari hasil pertanian yang Ibu miliki kami sudah bisa hidup lebih dari cukup. Alhamdulillah, rezeki ibu memang agak lebih dari ayah. Ayah dari ibu, yaitu kakek saya, punya tanah seluas mata memandang. Kebetulan ibu adalah anaknya semata wayang. Jadi, saat kedua orangtuanya meninggal dunia, limpahan harta miliknya jatuh pada ibu.
Makanya, ibu tak mau ikut pindah dengan Kak Mila. Karena ibu terlahir di tanah pertanian ini. Darah dagingnya ada di sini. Bulir-bulir rezekinya pun mengalir dari tanah yang beliau miliki.
“Ibu, boleh saya bertanya?” kata saya satu ketika.
“Ada apa?”
“Apakah Ibu punya niat untuk menikah lagi?”
Saya melihat air muka ibu menyiratkan rasa terkejut. Lalu, beliau menutupinya dengan senyum.
“Apakah kamu mau Ibu melakukan itu?” baliknya.
“Kalau memang itu baik untuk Ibu, mengapa saya harus menolak?”
“Apakah kamu tak lagi mau merawat Ibu?”
“Saya hanya takut alpa dalam melakukannya.”
Ibu tersenyum lagi. “Kamu tahu, kebahagiaan saya adalah berdekatan dengan anak-anak. Kini hanya kamu yang tersisa dari yang saya miliki dan dengan adanya kamu di sini, saya sudah mendapat kebahagiaan lebih dari cukup.”
Saya memeluk ibu dan beliau membalasnya dengan hangat.
***
Lain waktu sepulang dari kuliah, ibu memanggil saya.
“Ada yang perlu saya bicarakan,” katanya.
“Soal apa, Bu?”
“Kamu tahu tanah di ujung jalan? Yang ada pohon beringin tuanya?”
Saya mengangguk. “Ada apa dengan tanah itu? Bukankah saat saya kecil Ibu selalu melarang saya main di sana karena katanya angker?”
Ibu tersenyum. “Ingatanmu masih saja kuat. Tapi, bukan itu persoalannya.”
“Boleh saya tahu?”
“Tentu saja kamu mesti tahu, sebab saya akan butuh tenagamu.”
“Untuk apa?”
“Begini, ibu dengar tanah itu mau dijual. Nah, kamu coba cari tahu berapa harganya dan kelengkapan surat-suratnya.”
“Apa ibu mau membeli tanah itu?”
“Sepertinya begitu.”
“Apa ibu yakin? Tempatnya kan angker, buat apa?”
“Kamu tahu sumur yang dekat pohon trembesi itu? Sumur itu menolong warga di sini saat kekeringan.”
“Lalu maksud ibu, tanah itu akan Ibu beli lantaran ada sumurnya?’
Ibu tersenyum lagi. “Kamu memang pandai menebak. Sumur itu akan jadi simpanan hari esok.”
Terus terang saya masih bingung dengan maksud ibu. Tapi, ibu memang suka jeli melihat peluang usaha. Mungkin beberapa waktu ke depan tanah itu akan melimpahkan rezeki juga padanya.
“Baiklah, saya akan mencari tahu segala sesuatunya tentang tanah itu,” kata saya memastikan.
“Bagus, saya percayakan urusan itu padamu.”
***
“Ibu yakin mau membeli tanah itu?” kata saya dua hari berikutnya.
“Apakah kamu melihat saya main-main?”
“Kenapa Ibu tak mencari tanah yang letaknya lebih ekonomis?”
“Ibu hanya mau menyelamatkan tanah itu. Karena nilai ekonomis tanah itu jauh melebihi tempat lain.”
“Apa alasannya?”
“Karena di tanah itu ada sumur yang berair jernih dan bisa diminum.”
“Sumur lagi, sumur lagi.”
“Ya, memang hanya itu alasan saya kenapa ingin membelinya.”
“Jadi, kalau tak ada sumur itu Ibu tak mau membelinya.”
Ibu hanya tersenyum menjawabnya. “Sudahlah, apa sudah kamu mendapatkan semua yang saya inginkan?”
“Tentu saja sudah. Harga dan surat-surat lengkap, tanpa calo pula.”
Saya pun mengatakan harga yang diberikan si pemilik tanah.
“Kamu bisa menegonya lagi?”
“Berapa nilai yang Ibu inginkan?”
Ibu menyebut nilai tak jauh di bawah harga yang saya sebutkan.
“Baiklah, saya akan coba.”
***
Besoknya kembali saya menemui ibu.
“Saya sudah mengatakan tawaran yang Ibu minta,” ucap saya.
“Bagaimana tanggapannya?”
“Saat saya bilang begitu, dia bergeming. Lalu, dia bicarakan pada istrinya dan akhirnya setuju.”
“Syukurlah,” ucap ibu.
“Jadi kapan Ibu, akan membayarnya?”
“Secepatnya. Mungkin besok kamu harus pergi ke bank dan langsung membayarnya.”
“Ada persenan untuk saya?” canda saya.
Ibu tertawa. “Berapa yang kamu minta?”
Saya jadi ikut tertawa.
***
Pada akhirnya, tanah tersebut memang menjadi milik ibu. Saya masih belum tahu apa manfaat tanah kosong itu. Juga saya belum mengerti maksud Ibu yang akan menjadikan sumur yang ada di sana sebagai simpanan di masa depan.
Saya malah tak lagi memikirkan soal sumur yang ibu sebutkan itu. Saya sudah sibuk kembali dengan datangnya ujian tengah semester. Belajar lagi. Sibuk lagi. Kini saya yang harus menyiapkan diri untuk meraih sesuatu dari kampus ini untuk modal saya hidup ke depan.
Hari demi hari berlalu. Bulan berganti musim. Kemarau datang membawa panas dan menghisap air ke awan. Namun, hujan tak kunjung turun.
Tanah-tanah menjadi kering, pecah, dan berdebu. Beruntung air di rumah saya tak ikut kering seperti para tetangga lain. Ketika saya menengok tanah yang baru saja dibeli ibu, saya melihat sumur di sana tetap berair jernih.
Tiba-tiba terlintas satu pikiran di kepala saya. Mungkin ini yang dimaksud Ibu dengan rezekinya. Ya, di saat air tanah penduduk desa sini kekeringan, kami mempunyai air yang melimpah dari sumur ini. Barulah saya mengerti maksud Ibu membeli tanah ini.
Ibu memang pintar. Rupanya benar bahwa tanah ini akan menjadi modal untuknya sebab, bisa dibayangkan bila kami menjual air yang berasal dari sumur itu pada penduduk, berapa besar keuntungan yang didapat?
Ibu memang brilian. Bisa melihat peluang. Saya yakin tak berapa lama lagi orang-orang akan datang ke rumah.
“Assalamu’alaikum….” Terdengar satu salam di depan rumah.
Saya membalas salam dan membuka pintu. Pak Ahmad, tetangga saya ada di muka pintu. Saya menyilakannya masuk.
“Ada apa, Pak?” tanya saya.
“Begini, Nak Ayu,” katanya, ”kami ini kan sedang menghadapi kekeringan air, kalau boleh saya akan meminta air dari sumur di tanah dekat lapangan itu, kalau perlu saya akan membayar.”
Saya tersenyum. Benar dugaan saya. Pak Ahmad ini menjadi orang pertama yang akan membuka pintu rezeki buat ibu.
“Kalau begitu saya bilang pada Ibu dulu,” tukas saya sembari menuju ke dalam.
Saya menemui ibu di kamarnya.
“Bisa Ibu bayangkan keuntungan yang akan kita raih, Ibu memang pintar menemukan jalan usaha!” seru saya pada Ibu setelah mengatakan maksud Pak Ahmad.
Ibu hanya tersenyum dan melangkah menemui Pak Ahmad.
 “Saya sudah mendengar maksud Bapak,” kata ibu, “saya juga tak keberatan pada semua orang yang membutuhkan air di saat ini untuk menggunakan air dari sumur itu. Bagi saya, yang penting sumur itu dijaga agar tetap bisa bermanfaat. Dan tak perlu membayar.”
Saya melongo mendengar ucapan terakhir dari ibu.
Gratis?
Kalau begitu buat apa Ibu membeli tanah itu? Bagaimana dengan perkataannya yang akan menjadikan sumur itu untuk modal? Setelah Pak Ahmad pulang berbias wajah ceria, saya segera menanyakan soal itu pada ibu.
“Kamu jangan selalu berpikiran soal materi,” jawab ibu. “Ibu membeli tanah itu agar air dari sumurnya dapat dimanfaatkan penduduk di sini bila saat kemarau tiba. Ibu hanya berharap semua itu mendapat keberkahan dari-Nya, itulah yang ibu maksud sebagai modal untuk kehidupan di hari depan. Kehidupan nanti di akherat.”
Saya manggut-manggut. Itu rupanya maksud Ibu. Keinginannya. Baru kini saya mengerti. Saya sadari. Betapa bodohnya saya.

***

Komentar