Mengintip Peluang Film Dokumenter
Oleh: Sokat Rachman
Dok. Pribadi |
Beberapa saat
lalu, saya ngobrol dengan teman mengenai bidang kreatif. Dari ngalor-ngidul itu, tak sengaja terlontar soal mendokumentasi kejadian atau sosok yang
menarik dalam media Film.
Dari situ, saya teringat dengan sebuah diskusi Film dokumenter yang saya hadiri di Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika (AKOM BSI) kampus Pemuda bulan Februari lalu. Diskusi menarik dan penuh ilmu yang ingin saya sampaikan lagi dalam tulisan ini.
Dari situ, saya teringat dengan sebuah diskusi Film dokumenter yang saya hadiri di Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika (AKOM BSI) kampus Pemuda bulan Februari lalu. Diskusi menarik dan penuh ilmu yang ingin saya sampaikan lagi dalam tulisan ini.
Dokumenter
merupakan Film non-cerita, maksudnya apa yang disajikan dalam bahasa gambar di
Film itu adalah sesuatu yang benar terjadi. Jenis film ini sedang marak dibuat
di Indonesia. Salah satu penyebab adalah sudah begitu
mudahnya orang bisa merekam apa pun dengan kamera dari ponselnya. Bahkan kalau
mau mencari kamera yang lebih baik, banyak tempat yang menyewakannya.
Diskusi
yang diselenggarakan AKOM BSI bekerja sama dengan Gothe Institut itu
menampilkan Pepe Danquart, seorang sutradara asal Jerman dan IGP Wira Negara,
sutradara dukomenter dalam negeri sebagai pembicara.
Acara
yang dipandu oleh Sofi Setiorini sebagai perwakilan dari Gothe institute Jakarta
mengupas Film dokumenter, dari mulai jenis dan pembuatannya.
Pepe
datang didamping eks mahasiswanya yang kini terjun juga menjadi pembuat
dokumenter di Jerman, Bernd Schoch.
Mereka menampilkan sejumlah karya dokumenter buatan mahasiswa Pepe di Jerman.
Selain
sutradara, Pepe Danquart adalah juga seorang dosen akademi Film di Berlin dan
Hamburg, Jerman. Kedatangannya di Indonesia atas prakarsa Gothe Institut yang
memang tengah mengadakan acara pemutaran Film karya Pepe di pusat budaya Jerman
itu.
Dari
beberapa Film dokumeter yang ditayangkan, penonton mengenal genre pada Film
dokumenter. Seperti halnya juga Film cerita, dokumenter terbagi menjadi
beberapa genre, yaitu direct cinema, naratif, dokumenter animasi, dan Film
esai.
Dok. Pribadi. |
Dari
para pembicara dapat disimpulkan bahwa konsep
membuat sebuah Film dokumenter adalah: konsep, riset, naskah, dan
produksi.
Membuat
Film dokumenter sama menariknya dengan membuat Film cerita. Menurut Pepe, “Dokumenter
adalah menampilkan sisi realitas manusia dan itu menarik untuk ditampilkan.”
Berbeda
dengan di Indonesia, di Jerman sana, dokumenter dibuat untuk ditayangkan di
gedung bioskop dan menjadi tontonan reguler seperti Film cerita.
Sehingga
bukan sekadar proyek coba-coba, dari mulai konsep sampai produksi dikerjakan
dengan perencanaan.
“Konsep
itu penting,” ucap Wira Negara, “sebab dengan konsep jelas kita bisa merumuskan
riset yang dibutuhkan dan bagaimana
bentuk tayangannya kelak.”
Dokumenter
memang sarat dengan riset, apalagi kalau berniat mengambil ide cerita soal
keseharian tokoh, kebiasaan satu masyarakat, atau kehidupan alam liar.
Bernd
Schoch yang membuat dokumenter tentang petani jamur di Romania membutuhkan
waktu 6 bulan untuk riset.
Sedangkan,
Pepe ketika membuat dokumenter Höllentour (Hell on Wheel) yang
rilis pada tahun 2004, membutuhkan riset 2 tahun dengan 40 orang di tim
produksinya.
Hell on Wheel (Dok. Pribadi). |
Film
dokumenter tersebut merekam tim pembalap sepeda Jerman dalam even balap sepeda Tour
de France.
Dokumenter
ini merupakan Film kedua dari trilogi Film dokumenter olah raga yang dibuat
Pepe, selain Heimspiel, dan Am Limit.
Tema
olah raga dipilih Pepe karena dia berkeyakinan kalau gelora dan hiruk pikuk di
arena satu kejuaraan sangat menarik untuk dilihat. Apalagi sudah banyak
terbukti Film cerita olah raga, seperti Rocky bisa mencapai box office.
Semangat
Pepe dalam berkarya membuahkan hasil, trilogi dukumenter yang dibuat Pepe
Danquart berhasil menyabet penghargaan di berbagai festival Film Eropa.
Demikian
juga dengan IGP Wira Negara, untuk merekam kehidupan Paku Alam XII, dia
menjalin hubungan baik dengan Sultan selama 10 tahun. Sehingga bisa
menceritakan sosok penguasa keraton Solo itu dengan detail. Hasilnya, Film
dokumenter itu meraih penghargaan FFI 2005.
“Indonesia
tak kekurangan tema untuk dokumenter,” tukas Wira Negara yang juga adalah
sutradara Film dokumenter yang juga menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta
dan sejumlah akademi.
Sejalan
dengan pernyataan tersebut, sekarang ini sedang ada kerja sama antara Indonesia
dan Jerman untuk memproduksi Film dokumenter mengenai negara masing-masing.
Jerman
mengirim 5 orang remaja ke Indonesia yang akan di tempatkan di 5 wilayah daerah
timur Indonesia, untuk membuat dokumenter mengenai tempat tersebut.
Demikian
juga, 5 remaja Indonesia dikirim ke Jerman untuk tinggal di 5 desa di sana dan
merekam kehidupan di desa itu dalam Film dokumenter.
Di
Indonesia sendiri banyak diadakan festival film dokumenter, mulai dari untuk TV
sampai komunitas.
Dengan
semakin banyak orang membuat dokumenter, akan makin banyak karya-karya yang
berproses menjadi karya yang bagus.
Jadi,
peluang untuk berkarir di Film dokumenter memang terbuka luas. Sekarang adalah
bagaimana mempersiapkan SDM yang serius berproses untuk memproduksi satu karya
dokumenter dengan bagus.
Ayo
bikin dokumenter!
Aku malah sering bikin film dokumenter. Asyik kawan
BalasHapus@Hadi Prayitno Kalau begitu, mas sudah benar jalannya... makin sering makin tambah bagus dokumenter yang mas buat.... :)
Hapuskadang bikin konsep masih suka bingung, mau nambah ini itu, padahal juga lihat durasinya :)
BalasHapus@sari widiarti Biar gampang, selain membuat konsep cerita juga dibuat konsep tayangnya, mau naratif, esai, animasi, atau direct cinema... kalau durasi relatif, bisa sampai 2 jam.
Hapushayuuk, kita bikin
BalasHapusbtw blognya udah saya folow ya
@Mildaini Milda Mildaini Hayuk... biar saya follow back G+ Milda
HapusNice writing inspirated from interesting discussion!
BalasHapusThanks @BANGARIF sudah mampir... :)
Hapus