Menjaring Cahaya

foto-gambar-cerpen-menjaring-cahaya
Ilustrasi

Sejak Mirda belajar di SMA Gagak, dia merasa suasana yang gersang. Bukan sebab di sekitar gedung sekolahnya tak ada pohon. Malah sebaliknya, sekolahnya sangat amat rimbun dengan pepohonan. Dari rimbunan bambu tali sampai pohon akasia. Malah di taman sekolah ada pohon flamboyan yang tiap berbunga bikin mata betah melihatnya warna bunganya yang ngejreng. Jadi bukan karena pepohonan.
Rasa gersang itu karena Mirda tak melihat ada satu kegiatan ekstra kulikuler yang mengarah pada bidang keagamaan. Sebagai seorang muslimah, dia agak heran. Masa sekolah segede alaihim begitu tak punya Rohis?
Padahal, setiap hari Senin ada dua jam pelajaran agama Islam. Dan dari 35 anak hanya lima yang keluar dari kelas karena berbeda agama. Sudah begitu, setiap Zuhur juga banyak anak-anak dan guru yang shalat di ruang kecil di samping aula, tempat yang dipakai shalat lantaran tak ada mushala.

Itu yang membuat Mirda heran. Iseng-iseng dia bertanya pada kakak kelasnya yang kelas dua belas.
“Memang dari dulunya di sini gak pernah ada kegiatan Rohis, Mbak?” tanya Mirda.
“Rohis? Apaan tuh?” cewek itu balik tanya.
Mirda bengong. Kemana aja nih anak sampai nggak tahu sama yang namanya Rohis, batin Mirda. Sambil tersenyum kikuk, Mirda meninggal cewek itu. Mirda menemui guru agamanya, Pak Sani di ruang guru.
“Maaf, Pak, boleh saya tanya?” kata Mirda ragu karena dilihatnya di depan guru itu sudah tersedia lontong sayur yang siap disantap.
Meski merasa terganggu, Pak Sani tetap senyum. “Oh, silakan, mau tanya apa?”
“Kenapa di sekolah ini tak ada Rohisnya, Pak?”
Pak Sani terpaku. “Maksudmu?”
“Saya melihat tak ada kegiatan ekskul Rohis di sini, apa memang begitu sejak dulu?”
“Sebenarnya ada,” kata Pak Sani kemudian. “Tapi tak berjalan, sekarang hanya tinggal pengurusnya saja.”
“Kok bisa begitu, Pak?”
“Ya, itulah seleksi alam, dari semula banyak peminatnya sampai kini kosong melompong.”
“Kalau boleh tahu siapa pengurusnya, Pak, saya ingin ngobrol dengan mereka,” lanjut Mirda.
“Kamu bisa menghubungi Shanaz, keduanya anak kelas dua belas satu.”
Mirda mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia pun meninggalkan guru itu. Mirda menuju kelasnya, karena jam masuk setelah istirahat telah nyaring memanggil semua siswa untuk kembali ke kelasnya.
***
“Maaf, apa kakak yang bernama Shanaz?” tanya Mirda keesokan harinya pada seorang cewek berkerudung putih sedada.
Cewek itu menoleh dan tersenyum manis. “Benar, kamu siapa, ya?”
“Aku, Mirda. M-I-R-D-A. Kelas sebelas tiga.”
“Oh, ada apa, ya?” tanya Shanaz renyah.
“Apa benar kakak pengurus Rohis?”
Shanaz agak terkejut mendengar pertanyaan Mirda. “I-iya, kenapa?”
“Boleh saya mendaftar menjadi anggotanya?”
Shanaz lebih terkejut lagi. “Oh, bo-boleh. Boleh.”
“Kegiatannya tiap hari apa, Kak?” lanjut Mirda semangat.
Shanaz tersenyum ragu. “Biasanya sih kita berkumpul tiap hari Minggu pagi, tapi….”
“Tapi apa, Kak?”
“Sudah hampir setahun ini kita tak ada kegiatan,” jawab Shanaz sedih. “Tak ada yang mau datang lagi.”
“Apa tak pernah dibuka pendaftaran untuk menjaring anggota, Kak?”
“Setiap tahun ajaran baru, kita membuka pendaftaran, tapi hanya sedikit yang daftar. Ini pun tak lama bertahan.”
Mirda jadi ikut sedih mendengarnya. Betul kata Pak Sani, seleksi alam berlaku di semua kegiatan.
“Begitulah, sejak pertama kali dibentuk sampai sekarang, aku masih jadi pengurusnya. Sebab belum ada orang yang menggantikannya. Dan sepertinya kini Rohis di sini tinggal namanya saja,” tandas Shanaz.
“Kenapa nggak digerakkan lagi, Kak?” ujar Mirda.
“Siapa yang mau ikut?”
“Aku!”
Shanaz memandang Mirda. Lalu, tersenyum kecil. “Aku sendiri tak yakin kamu bakal bertahan lebih dari tiga kali pertemuan.”
“Jangan dulu mendahului takdir, itu takabur namanya,” kata Mirda. “Dari pada menuduh mendingan kita sama-sama jalan membangun kembali ekskul ini.”
Shanaz tersenyum. “Niat kamu bagus, aku kagum. Tapi, sebaiknya kamu pikir-pikir dulu deh.”
Mirda kesal dikacangin begitu sama Shanaz. Dia meninggalkan cewek itu dengan ucapan, “Semoga Allah membuat Kak Shanaz sadar.”
***
Di hari Minggu, Mirda mencoba datang ke sekolah. Dia melihat banyak anak seangkatannya yang ikut berbagai ekskul. Ada yang sedang menggelar kegiatan di lapangan. Ada pula yang hanya di dalam kelas. Ada yang ikut Paskibra. Sispala. PMR. Pramuka. Teater. Fotografi. Beladiri. Tari. Basket. KIR. Futsal. Juga Cheerleader.
Semuanya seru. Mirda melihat anggota tiap-tiap ekskul penuh semangat mendengarkan para seniornya bicara. Mirda tak melihat ada anggota Rohis yang berkumpul. Sebelum siang dia pun pulang.
***
Ketika melihat Shanaz di kantin esoknya, Mirda langsung menghampiri.
“Aku sudah berpikir,” ucap Mirda tiba-tiba.
Shanaz yang terkejut hanya membalasnya tersenyum.
“Aku akan membantu Kak Shanaz menghidupi lagi Rohis,” lanjut Mirda.
Shanaz tersenyum lagi. “Kamu sudah makan?”
Mirda yang heran mendengar pertanyaan Shanaz menggeleng.
“Kalau begitu kau ambil dulu makananmu, biar enak ngobrolnya.”
Mirda tesenyum, lalu menghampiri tukang siomay dan memesan sepiring. Ketika dia kembali ke bangku Shanaz, cewek itu sudah tak ada. Piringnya yang telah kosong ditinggal begitu saja. Mirda melihat sosok Shanaz tengah melangkah menuju kelasnya. Dia menghembuskan napas kesal.
“Mau ngajak berbuat baik saja susahnya minta ampun!” gerutu Mirda sambil duduk dan menyantap siomaynya.
“Kalau gampang, penjara dan neraka nggak bakal ada penghuninya,” cetus satu suara dari sampingnya.
Mirda menoleh dan melihat pada seorang cowok yang sedang duduk sambil mengisap rokok.
“Kau betul,” balas Mirda. “Mungkin bagimu seperti lebih mudah menyalakan rokok ketimbang mematikannya, iya kan?”
Cowok berambut gondrong itu tertawa. Kemudian terdengar suara bel ikut menyahut. Seketika, si cowok mengisap sekali lagi batang rokoknya sebelum menjentikkanya ke selokan di samping kantin.
“Mematikan rokok lebih mudah dari pada mengajak berbuat pada kebaikan!” tandas si cowok sambil berlalu meninggalkan Mirda.
Mirda buru-buru menghabiskan sisa makanannya dan menyeruput minumannya. Dia bergegas menyusul langkah si cowok.
“Namaku Mirda, Kak” ucap Mirda setelah langkahnya sejajar dengan cowok yang satu kelas di atasnya itu sambil menuju kelas.
“Panggil saja aku Roni, kamu kelas sebelas tiga, kan?”
Mirda kaget kalau cowok itu mengenalnya. “Aku tak menyangka bisa sampai terkenal begitu.”
Roni tersenyum kecil. “Sebab aku lebih suka menghapal kelas para cewek ketimbang menghapal pelajaran!”
Mirda melirik pada Roni yang perkataannya seperti asal ucap. Mendekati pintu kelasnya, Mirda berhenti.
“Boleh tanya, sesuatu?” tanya Mirda pada Roni.
“Asal jangan soal pacar, sebab aku belum punya,” tukas Roni seenaknya.
Mirda tersenyum. “Kakak mau ikut jadi anggota Rohis?”
Mata Roni terbelalak kaget. Namun, kemudian dia tertawa. “Kamu tahu kalau Rohis sudah mati?”
Mirda menggeleng. “Belum kok hanya sekarang sedang tak ada kegiatan.”
“Itu karena pengurusnya takut untuk bertarung?” tukas Roni.
“Siapa yang takut?”
Roni tersenyum lagi. “Untuk membuat perubahan, lebih baik gunakan ini ketimbang ini,” ucap Roni sambil menunjuk kepala kemudian dada.
Mirda tertegun tak mengerti. Dia hanya diam sampai Roni beranjak meninggalkannya menuju kelasnya di lantai atas.
Sepulang sekolah, Mirda sengaja menunggu Roni lewat. Begitu dilihatnya cowok itu melangkah bersama temannya, Mirda menyusulnya.
“Kak Roni boleh ngomong sebentar?” tukas Mirda yang membuat Roni terkejut.
“Weit, tumben nih ada makhluk manis mau ngobrol sama cecurut!” ledek cowok yang jalan bareng Roni.
Roni tertawa dan minta pada temannya untuk jalan duluan. Lalu, dia menoleh pada Mirda.
“Ngomongnya sambil jalan saja, ya,” tukas Roni.
Mirda manggut dan menjajari langkah kaki Roni.
“Ada apa?” tanya Roni.
“Boleh aku tahu maksud Kak Roni yang bilang kalau pengurus Rohis itu takut untuk bertarung?”
Roni tersenyum. “Artinya mereka nggak berani membuat gebrakan untuk penyegaran kegiatan. Coba robah acaranya jangan mengaji melulu, bikin kajian tentang Islam, biar semua anak jadi melek pada agamanya, kalau perlu panggil ustadz yang berkompeten.”
 Mirda tertegun. Dia tak menyangka dengan pendapat yang dikeluarkan cowok urakan di sebelahnya itu.
“Kalau Kak Roni diberi kesempatan untuk mengurus Rohis apa mau?”
Roni menoleh pada Mirda. Dia tak menjawab.
“Mungkin Rohis di sini tak berkembang karena banyak orang yang berbakat tak mau tampil,” tukas Mirda.
Roni tersenyum mendengar sindiran Mirda.
“Mengajak orang pada jalur agama sama sulitnya seperti menjaring cahaya. Tapi, bukan tak mungkin mendapatkan hasil kalau wadah yang kita dipakai benar,” tandas Roni.
Mirda tersenyum menatap Roni. “Jika Kak Roni mau mendobrak pola pikir lama yang dipakai Rohis, aku siap membantu,” kata Mirda.
Roni balas menatap Mirda. Lalu dia menatap ke depan lagi. Diam.
“Gimana, Kak? Tak ada salahnya menyumbang tenaga untuk kebaikan di sekolah,” kata Mirda.
Roni menoleh lagi pada Mirda. “Tapi, aku tak betah memakai baju koko.”
“Keimanan seseorang bukan terletak pada pakaian yang digunakannya,” sambung Mirda.
Roni manggut-manggut. “Benar katamu.”
“Jadi?” pancing Mirda.
Roni tersenyum kembali. “Kukira tak ada salahnya untuk mencoba.”
Mirda tersenyum lebar.
“Alhamdulillah!!” serunya.
*****
NusaIndah9

Komentar

  1. ini naskah drama kah keren kalau divisualisasikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. @Naqiyyah Syam
      Bener?
      Ah nggak kok, bukan drama, ini saya tulis sebagai cerpen.... :)

      Hapus

Posting Komentar